Pagi yang cerah dengan hangatnya mentari yang
bersinar dan sejuk embun di pagi ini, mengiringiku tuk pergi ke sekolah.
Langkah-langkah penuh kebahagiaan yang ada di benakku, membuatku semangat untuk
menuntut ilmu di tahun ajaran baru kali ini.
Dalam langkahku menuju kelas baru, dari arah
belakang terdengar suara yang memanggilku.
“Monitaaa, tunggu !.”
“Monitaaa, tunggu !.”
Akupun melihat kebelakang.
“Oh kamu Lik, kita satu kelas ya? Bingung nih mau duduk sama
siapa?,” ujarku kepada Lilik , teman sekelasku di kelas 7A sekaligus teman
sekelasku di kelas 8H kali ini.
“Iya nih. Duduk denganku yuk !,” ajak Lilik kepadaku.
“Eemm…boleh banget tuh,” jawabku yang menyetujui ajakannya.
Kami bergegas menuju ruang kelas kami yang baru. Hiruk pikuk semua
siswa dengan wajah-wajah yang belum pernah kulihat membuat ramai ruang kelas.
Mereka semu akan menjadi teman baruku di kelas ini.
Bel masuk kelas telah berbunyi. Aku
segera duduk disamping Lilik. Seorang cowok berparas tampan yang duduk disebelah
bangku kami, membuat aku dan juga Lilik memusatkan tatapan kami padanya.
“Eh Lik, cowok itu keren ya,” bisikku ke
telinga Lilik.
“Bener-bener keren,” jawab Lilik.
“Gimana kalau kita berebut dapetin dia?,”
tantang Lilik.
Aku terdiam sejenak memikirkan ajakan
Lilik. Tidak lama kemudian.
“Oke deh,” ujarku yang menyetujui
tantangan dari Lilik.
Pembicaraanku dengan Lilik terhenti,
ketika seorang guru pengajar memasuki kelas kami. Aku
mengikuti pelajaran yang berlangsung hingga usai.
Saat bel pulang sekolah, kami segera berdoa. Di
perjalanan pulang, aku dan Lilik menceritakan sosok cowok tadi kepada Yolanda,
sahabat kami di kelas 7. Yolanda yang sudah kenal dengan cowok itu, sontak
menyebutkan nama cowok itu.
“Jadi yang kalian maksud itu Nino?,” ungkap
Yolanda.
“Kamu kenal?,” tanyaku dengan sedikit heran.
“Ya kenalah, dulu waktu masih kelas 7 aku sempat
suka dia, tapi sekarang udah enggak,” jawab Yolanda.
“Kalian suka sama dia?,” tanya Yolanda kepada aku
dan Lilik.
Dengan sedikit ragu-ragu, Lilik menjawab “Sedikit
sih…”
“Aku punya nomor handphonenya dia kok, mau?,” ujar Yolanda (sambil menyenggol
lenganku dan Lilik).
Tanpa berpikir panjang aku dan Lilik
menulis nomor handphone Nino.
***
Keesokan
harinya, aku datang lebih pagi. Sesampai di kelas, aku hanya duduk di bangkuku
sambil membaca sebuah novel yang kubawa dari rumah. Satu persatu teman
sekelasku datang. Tetapi Lilik yang kutunggu sejak tadi, belum juga datang.
Tiba-tiba, Wida yang juga teman sekelasku saat di kelas 7 dulu, menghampiri aku
dan mengajakku bercengkrama. Meski kami pernah satu kelas, tetapi kami tidak
begitu akrab. Yang ku tau, dia adalah anak yang pendiam, rajin, dan pintar.
Menurutku dia juga cantik, imut, dan manis. Wida adalah anak seorang guru
Bahasa Indonesia di sekolah ini.
Setelah
cukup lama bercengkrama dengan Wida, akhirnya Lilik datang juga. Kami bertiga
saling berbagi cerita dan bercanda. Hingga aku lupa untuk menanyakan suatu hal
kepada Lilik.
Sewaktu
istirahat, aku menanyakan suatu hal mengenai Nino kepada Lilik.
“Kamu uda coba sms Nino apa belum?,” tanyaku yang sekedar ingin tau.
“Belum tuh. Emang kamu uda?.”
“Belum,” jawabku (sambil menggelengkan
kepala).
“Pulang sekolah nanti, aku coba sms dia deh,” ujarku.
Sepulang
dari sekolah, aku berniat untuk mengirim sms
ke Nino. Namun, aku bingung mau ngirim pesan apa. Tiba-tiba terlintas
difikiranku untuk sms Nino
seolah-olah salah kirim. Tanpa berfikir panjang, aku langsung mengirim pesan
padanya. Setelah pesanku terkirim, aku terus membawa handphoneku kemanapun aku pergi. Aku menunggu-nunggu balasan
darinya. Tetapi sudah berjam-jam aku menunggu, belum ada juga balasan dari
Nino. Aku pun mulai jenuh menunggu balannya. Daripada waktuku terbuang untuk
menunggu balan darinya, aku gunakan saja waktuku untuk mengerjakan tugas
sekolah yang lumayan banyak.
Saat
sedang serius mengerjakan tugas, terdengar suara handphoneku berbunyi. Tanpa disangka, Nino membalas sms dari ku. Dan isi pesannya ‘besok ada
tugas apa?’. Aku bingung dengan balasan darinya, karena menurutku balasan
darinya sungguh tidak masuk akal dengan pesanku tadi ‘besok jadi maen gak’ yang
sengaja aku buat seolah-olah salah kirim. Tapi aku jadi ingin tau maksud dia
apa, apa mungkin dia sudah tau aku?, supaya aku tau ebih lanjutnya aku pun
membalas smsnya.
“Loh? Maksutnya apa?,” balasku. Tidak
lama setelah aku membalas pesan dari Nino, handphoneku
berbunyi lagi. Ternyata ada pesan masuk dari Nino lagi.
“PR buat besok apa aja?,” balas Nino.
“Kamu itu siapa seh?,” tanyaku yang
pura-pura tidak tau.
“Aku Nino, kamu Monita kan?,” balasnya.
“Iya, kamu kok bisa tau nomorku?,”
tanyaku lagi yang saat itu sangat ingin tau.
“Dari temen kamu kelas 7A dulu,” jawab
Nino
“Iya, tapi namanya siapa?,” paksaku.
“Ada deh…,” ungkap Nino yang semakin
membuatku penasaran.
“Ya udah ,” balasku.
”Besok PRnya apa?,” tanyanya lagi.
“Bahasa Daerah sama IPA ,” jawabku.
"okee, makasih ya,” jawabnya.
"okee, makasih ya,” jawabnya.
“Sama-sama ,” balasku.
Rasa
senang yang tak terukur ketika Nino membalas smsku. Aku berharap, dapat berkomunikasi (smsan) dengan Nino setiap hari. Aku juga berharap, setelah ini
hubunganku dengan Nino akan lebih dekat lagi.
***
Keesokan
hari saat bertemu dengan Nino, aku merasa malu entah kenapa sebabnya. Mungkin
karena sikapnya yang terlalu dingin. Saat jam istirahat di kantin, aku
menceritakan kejadian kemarin kepada Lilik.
“Lik, kemarin smsku dibalas sama Nino loh ,” ujarku dengan wajah senang.
“Beneran? (sontak terkejut). Emangnya
kamu sms apa?,” tanya Lilik.
“Aku sih sms dia seoah-olah salah kirim. Aku bilang ‘besok jadi maen apa
gak’ ,” jawabku.
“Terus sama Nino dibalas apa?,” tanya
Lilik.
“Sebenernya sih dia balasnya lama, terus
gak masuk akal juga. Masak aku belum ngasih tau identitasku, dia uda tau dulu
siapa aku. Malahan kemarin dia tanya-tanya PR. Yang bikn aku bingung, dia kok
bisa tau aku siapa dan dia bisa dapet nomorku dari siapa ya?. Dia juga bilang
sih, kalau dia dapet nomorku dari anak kelas 7A dulu,” jawabku.
“Mungkin Yolanda, dia kan kenal sama
Nino,” ujar Lilik.
“Bisa jadi sih. Pulang sekolah nanti,
aku coba tanya ke Yolanda deh,” ujarku.
“Aku nanti ikut dong,” pinta Lilik.
“Beres…” jawabku singkat (sambil berdiri
dan beranjak meninggalkan Lilik).
“Tunggu dong…..,” panggi Lilik (sambil
berlari mengejarku).
Ketika
bel pulang sekolah telah berbunyi, aku dan Lilik segera menghampiri Yolanda
yang sedang piket.
“Yol, sini deh. Aku mau tanya nih?,”
ujarku.
“Tanya tentang apa Mon?,” jawab Yolanda.
“Itu loh, kemarin aku kan sms Nino. Aku seolah-olah salah kirim
gitu. Tapi balasannya aneh deh. Masak dia balas ‘besok PR nya apa?. Itu
tandanya dia udah tau nomor aku dong. Waktu aku tanya dia dapet nomor aku dari
siapa, dia bilang dari temenku di kelas 7A dulu. Terus yang sekarang mau aku
tanyain, apa kamu yang ngasih tau nomer aku ke Nino?,” tanyaku dengan wajah
penasaran.
“Hah? bukan tuh. Aku udah gak pernah ada
urusan lagi sama dia tuh,” jawab Yolanda.
“Terus dia dapet nomornya Monita dari
siapa dong?,” tanya Lilik yang juga ikut kebingungan.
“Eh, bentar deh. Seingatku, Ayu juga
kenal sama si Nino. Mungkin Nino dikaih tau sama Ayu,” ungkap Yolanda.
“Loh? Jadi, Ayu juga kenal sama Nino?,”
tanya Lilik yang kurang percaya.
“Iya.”
“Terus sekarang Ayu nya mana?,” tanyaku.
“Ayu nya udah pulang tuh,” jawab
Yolanda.
“Hmmm..ya uda deh, makasih ya,” ujarku.
“Iya sama-sama. Oh iya, kamu pulang naik
apa?,” tanya Yolanda.
“Gak tau nih, nyari temen dulu,”
jawabku.
“Pulang sama aku aja yuk, jalurnya kan
sama. Tapi tunggu bentar ya, aku piket dulu,” bujuk Yolanda.
“Oke.”
Setelah
menunggu Yolanda selesai piket, kami bertiga langsung pulang. Saat berada
didepan gerbang sekolah, tiba-tiba Ayu menghampiriku.
“Mon, kemarin ada yang minta nomor kamu
ke aku,” ujar Ayu.
“Siapa Yu? Nino ya?,” tanyaku yang mulai
semakin penasaran.
“Iya Nino. Maaf ya, aku gak bilang dulu
ke kamu. Nino sih maksa banget,” ungkap Ayu.
“Gak masalah kok, makasih ya udah
dikasih tau,” jawabku yang sudah lega karena rasa penasaranku sudah terjawab.
“Iya, Mon.”
***
Hari
demi hari berlalu, minggu ke minggu telah ku lewati. Tidak terasa sudah 3 bulan
aku di kelas 8H ini. Aku dan teman-teman lainnya telah mengenal satu sama lain,
meski tidak seutuhnya kami tau sisi baik dan buruk mereka. Tapi dimulai dari
sinilah rasa kekeluargaan dan awal bahagia yang kurasa selama SMP.
Dan
tidak terasa pula waktu pembagian raport tengah semester telah tiba. Satu per
satu raport kami di bagikan oleh wali kelas. Ketika giliranku, aku cukup bangga
menerima raport tersebut. Karena berdasarkan nilai kami semua, aku mendapatkan
pringkat kedua. Dari situlah mereka beranggapan aku murid yang pintar di kelas,
meski aku mendapat pringkat kedua.
Disini
pula, aku mendapatkan 3 sahabat baru dan 1 sahabat lama. Mereka yang mengerti
aku. Mereka yang selalu ada untuk aku, dikala sedih maupun susah. Mereka
adalah sosok yang ku anggap lebih dari
seorang saudara, mereka segalanya bagiku dan mereka takkan terganti. Tania
Firdha Martabaya, Monica Dwi Anggraini, Widasari Iswara, dan Lilik Endrawati,
merekalah sahabat-sahabat yang ku maksud.
Hari-hariku
di kelas 8 ini, juga tidak pernah lepas dari seorang cowok yang kurasa semakin
lama semakin dekat denganku. Cowok itu adalah Nino. Perasaan yang awalnya hanya
sekedar main-main, kini menjadi rasa saying yang sulit untuk ku hilangkan.
“Mon, aku udah gak mau berebut Nino sama
kamu lagi deh,” ungkap Lilik.
“Memangnya kenapa? Ada masalah apa? Apa aku berbuat salah?,” tanyaku
yang ingin tau alasan Lilik.
“Aku udah suka sama cowok lain, Mon.”
“Siapa? Salah satu anak di kelas kita apa
bukan?,”tanyaku.
“Lain waktu aku kasih tau. Dia bukan
anak di kelas kita kok,” ujar Lilik yang masih menyembunyikan identitas cowok
yang dia suka.
“Sekarang aku ndukung kamu sama Nino
100% deh,” kata Lilik dengan nada semangat.
Mundurnya
Lilik dari tantangan yang pernah ku buat dengannya, tidak membuatku untuk ikut
mundur. Karena, aku sudah terlanjur suka pada Nino.
***
Semakin
lama, semakin banyak anak yang tau bahwa aku suka pada Nino. Kabar tersebut
tidak hanya menyebar di kelasku saja, tetapi telah menyebar keseluruh kelas.
Aku sempat takut akan hal itu. Terlebih lagi jika Nino marah padaku karena
adanya kabar tersebut. Tapi ternyata Nino menganggap semua itu seperti angin
yang berlalu.
Nino
yang hampir setiap hari mengirimkan pesan padaku, entah hanya menanyakan apa
yang sedang aku lakukan, apa aku sudah makan atau mungkin hanya menanyakan PR.
Setelah mendengar kabar tersebut, ia tetap melakukan kebiasaan rutinnya itu.
Itulah yang membuat aku semakin suka padanya.
Saat di sekolah, aku selalu melihat tingkah
lakunya yang terkadang membuatku tersenyum-senyum sendiri. Setelah waktu
memperkenalkan kita begitu lama, aku mengenal dia dengan ramah, dengan baik,
walaupun diantara kita tak pernah ada satu perkataan. Tiba-tiba semua
perasaanku menjelma, berubah entahlah seperti apa isi otakku. Aku tidak hanya
menyukainya, tetapi aku menyayanginya. Aku yakin dia pun begitu, tapi aku tidak
pernah pecaya itu. Aku tidak pernah percaya bila ia menyukaiku juga. Aku hanya
berharap begitu banyak padanya.
Waktu yang begitu lama aku jalani hanya untuk
menanti sebuah kata darinya bahwa dia suka padaku, ternyata masih belum cukup. Semua sahabatku merasa
heran padaku, mereka berfikir kenapa aku mengejar-ngejar seorang cowok yang gak
pernah ngertiin perasaanku.
Saat pulang sekolah, aku dan sahabat-sahabatku selalu pulang
terakhir. Kami selalu menggunakan waktu sepulang sekolah untuk berbagi resah
gelisah dan suka kita. Namun waktu itu mereka memilih untuk membahas masalahku
dengan Nino.
“Apa kamu bakal tetap suka sama Nino?,” tanya Monica.
“Aku gak tau Nic, aku berharap bukan aku aja yang suka, tapi aku
juga ingin dia balik suka ke aku,” jawabku dengan nada tidak yakin.
“Kamu yang sabar ya,” kata Wida (sambil memegang erat tanganku).
Aku hanya tersenyum kecil padanya.
“Apa kamu sanggup ngadepin semua cewek yang suka ke Nino?,” tanya
Tania.
“Entahlah, Tan. Tapi sepertinya aku akan membiarkan mereka, karena
memang hak mereka untuk menyukai orang yang mereka suka,” ungkapku dengan lesu
dan sudah tidak bersemangat lagi.
Nino memang
banyak disukai cewek-cewek di sekolah, dari siswa kelas 7 sampai kelas 9. Tapi
mereka semua hanya diberi sebuah harapan yang palsu oleh Nino. Sama seperti aku
saat ini.
“Kenapa kamu gak bilang jujur aja, gimana perasaan kamu ke dia
sebenarnya. Kalau kamu bilang ke dia, nanti kamu akan tau apa jawabannya,” kata
Lilik yang dapat menyemangatiku.
“Bener kata Lilik, Mon. Kamu jujur aja ke dia, gak perlu malu
kalau cewek yang ngomong duluan,” tambah Tania.
“Uda banyak kok cewek yang mulai duluan,” tambah Monica.
“Iya Mon. Jujur aja dari pada kamu sedih terus dan nunggu sesuatu
yang gak pasti seperti ini,” tandas Wida.
“Makasih banyak ya
teman-teman, kalian memang sahabat terbaikku,” ujarku (sambil berpelukan dengan
sahabat-sahabatku).
***
Ketika di rumah, aku memikirkan ucapan sahabat-sahabatku tadi.
Apakah aku harus melakukan itu? Apakah aku akan sanggup menerima, apapun
jawaban dari Nino. Aku takut jika Nino menjauh dariku setelah aku
mengatakannya. Tapi aku mencoba untuk tetap optimis dan berusaha tegar untuk
menerimanya.
Aku tak cukup kuat untuk meyatakan perasaanku secara langsung
padanya, Aku hanya dapat menyatakannya lewat pesan sms.
“Nino, aku cuma mau ngomong
satu hal ke kamu. Aku cuma mau jujur atas perasaanku. Aku udah gak mau
menyimpan perasaan ini lama-lama. Aku mau bilang, kalau aku suka sama kamu, aku
sayang sama kamu. Perasaanku ke kamu bukan sebatas teman aja, tapi lebih dari
seorang teman. Aku cuma mau ngomong itu aja.”
Pesan itulah yang
aku kirim pada Nino. Entah apa nanti balasnya, tapi kini aku merasa lebih lega
setelah mengatakan perasaanku yang sebenarnya kepada Nino. Beberapa menit
kemudian, Nino membalas pesan dariku.
“Maaf banget ya, Mon.
Aku juga suka dan sayang ke kamu kok. Tapi aku masih belum mau dan belum siap
buat jalin hubungan. Kita berteman aja dulu, atau kita jadi sahabat aja.”
Aku merasa, dia masih belum membuka kesempatan untukku. Mungkin
saat ini semua harapanku juga telah pupus. Tapi aku akan berusaha untuk
membuatnya berbalik mencintaiku.
***
Hari terus berganti, meninggalkan semua kisah dan
peristiwa yang ada. Aku bertekad untuk
melupakan Nino. Aku sudah cukup kecewa dengan semua ini. Aku bingung dengan
semua ini, mencintai seseorang tanpa ada sebuah kepastian. Aku mencoba
melupakannya tapi aku tak bisa, perasaan ini semakin menyiksaku. Semakin aku
mencoba melupakannya, semakin aku tak bisa menghapus bayangan Nino dari hatiku.
Dikala hatiku sedang dilanda kebimbangan, Satria yang selalu menghiburku dan menyemangatiku. Bagiku dia adalah seorang cowok yang baik, pengertian dan sabar. Sudah 3 kali dia menyatakan perasaannya padaku, tetapi tak pernah ku jawab. Aku hanya bilang kepada Satria bahwa aku masih menunggu sesuatu. Satria pun mengerti, bahwa yang ku tunggu adalah Nino. Namun, Satria masih setia menunggu hatiku. Aku pun berjanji akan menjawabnya. Tapi ternyata, perasaan ini hanya untuk Nino.Hati kecilku pun ikut bicara “Seandainya kamu tau, aku gak akan punya cinta, selain kamu (Nino)”. Tapi keyakinanku sungguh besar, bahwa Tuhan punya rencana yang indah untukku nanti.
Dikala hatiku sedang dilanda kebimbangan, Satria yang selalu menghiburku dan menyemangatiku. Bagiku dia adalah seorang cowok yang baik, pengertian dan sabar. Sudah 3 kali dia menyatakan perasaannya padaku, tetapi tak pernah ku jawab. Aku hanya bilang kepada Satria bahwa aku masih menunggu sesuatu. Satria pun mengerti, bahwa yang ku tunggu adalah Nino. Namun, Satria masih setia menunggu hatiku. Aku pun berjanji akan menjawabnya. Tapi ternyata, perasaan ini hanya untuk Nino.Hati kecilku pun ikut bicara “Seandainya kamu tau, aku gak akan punya cinta, selain kamu (Nino)”. Tapi keyakinanku sungguh besar, bahwa Tuhan punya rencana yang indah untukku nanti.
***
Sebentar lagi Ujian Akhir Semester Genap, itu
artinya aku sudah tidak bisa melihatnya lagi saat di kelas. Mungkin persiapan
untuk menghadapi Ujian Akhir Semester kali ini dapat sedikit membantuku
melupakan Nino.
Hari itu pun tiba, dimana saatnya aku harus
serius mengerjakan soal-soal yang akan menentukan kenaikan kelasku.Ketika
Ujian, aku dan Nino satu ruangan. Ketika ujian selesai, entah apa sebabnya
tiba-tiba Nino mengusap-usap rambut dan dia tersenyum padaku. Aku merasa
bahagia sekali, apalagi melihat senyumnya yang manis.
Ujian Semester ini telah kami jalani selama
seminggu. Kini kami tinggal menunggu hasil belajar kami selama di kelas 8. Dua
minggu setelah ujian, raport pun kami terima. Aku, Nino, Satria, dan
sahabat-sahabatku naik ke jenjang berikutnya. Itu berarti kami akan menjadi
murid kelas 9, dan kelas kami juga berbeda-beda. Meskipun terpisahkan, tapi
persahabatan antara aku dan juga mereka akan tetap berlanjut begitu pula
perasaanku ke Nino. Namun, perasaan itu sedikit demi sedikit mulai hilang.
Karena hati ini mulai jenuh melihatnya dekat dengan cewek-cewek lain, mungkin
juga hati ini mulai lelah dengan sikap dan tingkah lakunya yang acuh tak acuh
padaku dan aku mulai sadar bahwa….
.Aku hidup
bukan untuk menunggu cintamu.
Sulit ku terima semua keputusan itu.
Yang kini hilang tersapu angin senja.
Masih sulit pula untuk ku lupakan.
Suram dan seram jika ku ingat kembali.
Mungkin harus ku biarkan semua kenangan itu,
agar abadi oleh sang waktu.
Sulit ku terima semua keputusan itu.
Yang kini hilang tersapu angin senja.
Masih sulit pula untuk ku lupakan.
Suram dan seram jika ku ingat kembali.
Mungkin harus ku biarkan semua kenangan itu,
agar abadi oleh sang waktu.
****
0 komentar:
Posting Komentar